Kabur Aja Dulu : Jepang Sudah Menunggu

Gelombang tagar #KaburAjaDulu yang tengah menggema di media sosial Indonesia bukan sekadar tren sesaat. Ini adalah suara dari generasi muda yang semakin skeptis terhadap peluang ekonomi dan masa depan di tanah air. Lebih dari sekadar keinginan untuk merantau, ini adalah manifestasi dari ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada: rendahnya gaji, sulitnya mencari pekerjaan yang layak, hingga biaya hidup yang semakin mencekik.

Ironisnya, ketika suara ini bergema semakin nyaring, tanggapan dari dalam negeri terkesan mengecewakan. Bukannya mencari akar masalah dan menawarkan solusi, yang terdengar justru nasihat untuk “kalau bisa jangan pulang lagi.” Sebuah ungkapan yang tak hanya sumbang, tapi juga menunjukkan sikap defensif yang enggan berbenah.

Bandingkan dengan Jepang. Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, justru menyambut gelombang minat ini dengan tangan terbuka. Dalam pernyataannya, ia secara terang-terangan menyebut bahwa Jepang membutuhkan tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia, sebagai solusi menghadapi krisis demografi yang mereka hadapi. Bukan sekadar menyambut, Jepang bahkan menghargai etos kerja warga Indonesia yang telah memberi kontribusi di berbagai sektor vital seperti kesehatan, manufaktur, perikanan, dan jasa.

Dua respons yang begitu kontras. Satu pihak menolak dengan nada satir, pihak lain menyambut dengan harapan. Pertanyaannya, mengapa Jepang mampu melihat potensi dari fenomena ini, sementara pemerintah kita justru melihatnya sebagai ancaman?

Tidak bisa dipungkiri, Jepang memang membutuhkan tenaga kerja asing untuk mengimbangi populasi yang menua. Namun, mereka tidak sekadar membuka pintu. Jepang juga mengedepankan profesionalisme dengan memberikan syarat kemampuan berbahasa Jepang, sebuah pendekatan yang tidak hanya membantu integrasi, tapi juga meningkatkan kualitas tenaga kerja yang mereka terima.

Sementara itu, di Indonesia, fenomena ini justru dilihat sebagai ancaman potensial pada ketahanan ekonomi. Bukannya memperbaiki iklim kerja dan menaikkan standar hidup, yang dilakukan justru mempertanyakan loyalitas para pekerja yang ingin mencari penghidupan lebih baik di negeri orang.

Fenomena #KaburAjaDulu ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah untuk berbenah, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan yang terkesan menyalahkan generasi muda. Jika Jepang bisa melihat potensi dari fenomena ini, mengapa Indonesia justru memandangnya dengan kecurigaan?

Daripada mengatakan “kalau bisa jangan pulang lagi,” bukankah lebih bijak jika pemerintah justru bertanya, “Apa yang bisa kami perbaiki agar kalian mau kembali dan berkarya di sini?” Pada akhirnya, keinginan untuk pergi bukan sekadar soal material, tapi juga soal harapan akan masa depan yang lebih baik.

Jika Jepang mampu menyambut fenomena ini sebagai solusi, mengapa kita justru menganggapnya sebagai ancaman? Barangkali yang perlu diubah bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi juga cara pandang kita terhadap potensi anak bangsa.

Generasi muda Indonesia tidak kekurangan semangat atau keterampilan, yang kurang adalah kesempatan. Jika negara lain bisa melihat potensi ini, semestinya Indonesia tidak ketinggalan. Sebab pada akhirnya, rumah adalah tempat di mana harapan untuk masa depan tetap menyala.

Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, melainkan kritik sosial yang mengharapkan perubahan. Dan perubahan itu hanya akan datang jika kita mau mendengar dan mulai berbenah.

 

Penulis : Ririe Aiko

Sumber: Kompasiana.com

Masih khawatir
susah cari kerjaan
di luar negeri?

Coming Soon

Maaf fitur dalam pengembangan

Copyright © 2025 - Kwerja.com
All right reserved.